Jumat, 17 September 2010

Mbok Yem
Oleh M Dawam Rahardjo


Adikku, si Bagus, sewaktu kecil diasuh oleh seorang perempuan setengah baya, yang dipanggil Mbok Yem. Ibuku, aku dan kakak-kakak Bagus, sering meledeknya bahwa ia anak Mbok Yem. Memang Bagus sangat lekat pada Mbok Yem, tidak pernah mau pisah. Dan, kalau nangis meminta sesuatu, yang dicari adalah Mbok Yem.
Kalau dinakali temannya atau diganggu orang, mengadunya juga ke Mbok Yem. Bahkan jika ibu marah pun ia lapor kepada mboknya itu. Ibuku sendiri jika menyebut Bagus di muka Mbok Yem, sering menyebutnya dengan "anakmu". Bagus sebenarnya agak nakal, mbandel, karena itu ibu sering marah kepadanya. Tapi, Mbok Yem selalu membelanya.
"Yu, anakmu itu kok makin nakal tho?" tanya ibu suatu hari "Bukan nakal, tapi makin pinter," jawab Mbok Yem membela. Kadang-kadang dia menjawab, "Ya, tapi kan malah lucu."

Begitulah pembelaannya. Pokoknya ia tidak mau anak asuhnya itu dicela oleh siapapun. Apalagi jika yang memarahi kakak-kakaknya. Ia akan balik marah seperti induk ayam yang melindungi anak-anaknya. Mbok Yem memang sangat sayang pada Bagus. Mungkin karena si Bagus itu memang bagus rupanya. Mungkin ia menganggap Bagus seperti anaknya sendiri.
Sekolah Bagus di sekolah negeri di Solo, ternyata cukup lancar. Cuma waktu mau masuk ke perguruan tinggi, ia tidak berhasil diterima di universitas negeri, seperti UGM. Karena itu, ia melamar ke Universitas Islam Indonesia atau UII, fakultas ekonomi, dan diterima. Karena di SMA ia masuk ke bagian IPA, maka nilainya di fakultas ekonomi cukup bagus, indeks prestasinya 3,30. Selain itu, ia, selama menjadi mahasiswa, belajar sendiri komputer, lewat buku-buku. Bisa juga ia menguasai komputer. Tapi ia menambah kepandaiaannya dengan mengikuti kursus disain grafis, juga dengan mempergunakan alat komputer.
Setelah dewasa, tentu saja Bagus tidak lagi diasuh oleh Mbok Yem. Mbok Yem giliran mengasuh adik-adik Agus. Tapi hubungan adik-adik Bagus dengan Mbok Yem tidak seakrab hubungan Bagus dan Mbok Yem. Pokoknya, seperti kata ibu, Bagus itu memang "anak Mbok Yem", walapun Bagus sejak kecil juga sudah tahu bahwa ibunya yang sebenarnya adalah ibuku itu.
Sewaktu menginjak bangku SMA, hubungan Bagus dengan pengasuhnya mulai renggang, karena Bagus agak malu dibilang anak Mbok Yem. Apalagi setelah lulus SMA, Bagus harus pindah ke Yogya. Namun, Bagus tetap ingat pada bekas pengasuhnya itu. Jika pulang dari Yogya, Bagus selalu membawa oleh-oleh buat mboknya. Pernah pula ia membeli oleh-oleh berupa baju baru.
Mbok Yem sebenarnya punya anak sendiri, cuma seorang saja, anak perempuan. Tapi, bapak anak itu suatu hari pergi tanpa pamit. Kabarnya pergi ke Sumatera, ikut rombongan transmigrasi. Nama anak itu Ruqoyah, dengan panggilan si Ru. Jarak umurnya dengan Bagus agak banyak, lima tahunan. Bagus menganggap si Ru sebagai adiknya sendiri. Apalagi si Ru itu anaknya tampak bersih dan cantik, separuhnya karena kulitnya yang kuning langsat. Sepertinya kurang pantas ibunya Mbok Yem. Bahkan banyak yang menyangka, ia adalah bagian dari keluargaku. Karena, ia memang bebas bergaul dengan adik-adikku. Apalagi Bagus memperlakukan si Ru seperti adik kandungnya sendiri. Maklum, ia anak mboknya.
Padahal, keluargaku sebenarnya adalah keluarga feodal. Ibuku memang berdarah biru. Di Solo, biasanya para bangsawan itu menginginkan anaknya berjodoh dengan anak-anak pengusaha atau santri yang berpotensi menjadi kiai. Bapakku adalah lulusan pondok Termas di bilangan Madiun. Ia anak desa yang bapaknya mengerjakan sawah milik seorang bangsawan keraton, dari mana ibuku berasal. Bapak lalu diambil menantu. Tapi, ia tidak memilih profesi sebagai guru agama, melainkan sebagai pengusaha batik.
Di perusahaan batik itu, peranan ibuku sangat dominan. Ibuku mendapat julukan ndoro den ayu. Anak-anak lelaki dalam keluargaku, termasuk aku dan Bagus, dipanggil Gus sebelum nama mereka. Panggilanku adalah Gus Darwis. Sedengkan Mbok Yem memanggil Bagus, Gus, entah berasal dari den bagus atau Bagus atau dua-duanya, Gus Bagus, disingkat Gus.
Setelah lulus perguruan tinggi, Bagus pulang ke Solo. Ia tidak mengikuti jejakku ke Jakarta, melainkan ingin tetap tinggal di Solo. Karena mempunyai ketrampilan mengoperasikan komputer ditambah dengan kepandaian disain grafis, maka ia mendirikan sebuah percetakan kecil, sesuai dengan hobinya memainkan komputer. Lulusan UII memang, terutama dari fakultas ekonomi, cenderung memilih menjadi wiraswasta, katimbang jadi pegawai seperti saya yang lulusan UGM. Saya memang punya kecenderungan menjadi priyayi.
Bagus berbeda, punya kepribadian sendiri dan cita-cita sendiri. Ia senang menjadi orang bebas. Bisa menentukan sendiri tentang segala sesuatu. Cita-cita Bagus sederhana, ingin menjadi pengusaha sukses, mengikuti jejak bapaknya atau ibunya. Sudah tentu bapakku merasa berbahagia, sebab melihat kecenderungan saya, ia khawatir, jejaknya sebagai pengusaha tidak diikuti anak-anaknya. Bagus bagi bapakku adalah suatu anugerah. Ibuku juga merasa senang, karena ada anaknya yang menemaninya di hari tua, yang tetap tinggal di kota bengawan itu.
Sebagai anak kebanggaan ayah-ibu, Bagus digadang-gadang untuk dikawinkan dengan gadis yang pintar dan anaknya orang kaya. Padahal anak perempuan dari keluarga kaya, bisa menjadi beban, karena terbiasa dengan pola hidup yang mewah. Itulah jalan pikiran Bagus. Ia sendiri tidak punya angan-angan sama sekali untuk kawin dengan seorang gadis dari keluarga kaya. Padahal keluargaku sendiri tinggal di bilangan Laweyan yang terkenal dengan industri batiknya, banyak orang kaya.
Sebenarnya Bagus banyak diincar oleh keluarga-keluarga kaya dari Laweyan. Misalnya Pak Cokrohandoko pernah mengemukakan minatnya kepada bapakku untuk mengambil Bagus sebagai menantunya. Padahal, anak gadisnya tidak begitu cantik, sehingga ayahku dengan sopan menghindari anaknya dilamar, walaupun Pak Cokro tergolong paling kaya di Laweyan. Apalagi Pak Cokro tergolong abangan, sehingga pendidikan agama anaknya diragukan. Sebagai orang yang tahu agama, bapak menginginkan menantu yang sholehah.
Di Laweyan sebenarnya banyak gadis-gadis cantik, sebagian malah teman sekolah Bagus sendiri. Tapi entahlah, Bagus tidak tertarik pada seorangpun. Sikapnya terkenal dingin, sehingga sangat menjengkelkan gadis-gadis, karena mereka itu sebenarnya berminat kepada Bagus, yang wajahnya cukup sesuai dengan namanya.
Tapi, bapak ibuku punya pakem untuk mengambil menantu, yaitu harus dari keluarga yang terpandang, kalau bisa punya tiga unsur, priyayi, santri dan pengusaha. Syarat seperti itu sebenarnya tidak sulit untuk dipenuhi, apalagi jika melihat potensi dari kampung sebelahnya, Tegalsari. Mereka umumnya adalah keluarga pengusaha-santri, walaupun belum tentu punya darah bangsawan. Kombinasi tiga unsur itu lebih mungkin dijumpai di Laweyan. Hanya saja, di Laweyan lebih mungkin dengan kombinasi abangan-pengusaha. Ini bisa dilihat dari keanggotaan partainya, seperti dapat dilihat dari Pak Cokro yang anggota PNI. Bapakku tentu saja orang Masyumi.
Setelah usaha Bagus nampak sukses, bapak-ibuku kepingin menikahkannya. Mereka telah memilih calon-calon potensial, walaupun masih harus dilamar jika Bagus setuju. Ayah-ibuku punya kepercayaan diri yang tinggi untuk mengambil menantu dari keluarga manapun, bahkan mereka memandang Bagus sebagai calon menantu ideal, berpendidikan tinggi, berakhal baik, dalam arti punya dasar agama yang cukup, misalnya mampu menjadi imam di waktu sholat, dengan bacaan yang fasih, rupanyapun bagus, sehingga sering dijuluki cah bagus atau anak ganteng. Lebih-lebih keluarga Bagus cukup terpandang dan Bagusnya sendiri sudah punya profesi sebagai pengusaha muda.
Tapi, Bagus ternyata mempunyai rencana lain. Bagus adalah orang yang punya kepribadian dan karena itu tegas dalam pendirian. Inilah agaknya yang bikin susah ibu-bapakku untuk menjodohkannya. Suatu ketika ibu-bapakku terkejut mengetahui ternyata Bagus tertarik untuk mengawini si Ru, anak pembantu. Niat itu pernah disampaikannya kepada Mbok Yem. Dan Mboknya percaya, karena sikap Bagus yang sangat ramah dan akrab kepada si Ru, walaupun sikap itu seperti sikap kakak kepada adiknya. Sikap Bagus yang nampak tidak berminat untuk dicarikan jodoh, membuat ibu-bapakku bertanya-tanya, mengapa Bagus bersikap begitu. Hanya aku saja yang bisa membaca isyarat dari adikku itu, karena kami sering berbincang-bincang.
Akhirnya isyarat yang kutangkap itu aku sampaikan kepada ibu-bapakku. Bukan main herannya mereka mengetahui aspirasi Bagus. Mereka setengahnya tidak percaya. Mungkin karena mereka telah penuh rencana sendiri, tanpa mempedulikan aspirasi yang bersangkutan.
"Apa benar, Gus, kamu suka sama si Ru?" tanya ibu pada suatu hari. Bagus nampak terdiam, mungkin juga karena takut berterus terang, karena ia mengetahui rencana ibu-bapaknya yang memang masuk akal. Tapi akhirnya Bagus mengangguk pelan, dengan kemalu-maluan bercampur risau. "Gus, apa kamu bisa membayangkan, bagaimana bapak-ibumu berbesanan dengan rewangnya sendiri?" tanya ibu berterus terang menunjukkan sikap feodalnya.
"Aku terlanjur cinta sama Ru, Bu," jawab Bagus terus terang juga. Tapi Bagus bisa memahami perasaan bapak-ibunya. Ia membayangkan, bagaimana nanti di pelaminan, Mbok Yem berdiri menerima ucapan selamat dari para undangan, sedangkan ibu bapaknya berposisi di sebelah kanan pengantin. Tentu akan banyak timbul gosip tentang besan bapak-ibunya yang kaya dan berdarah bangsawan itu. Jangan-jangan Bagus dicurigai telah menghamili terlebih dulu anak pembantunya. Jadi mereka terpaksa dikawinkan. Tapi akhirnya Bagus menemukan jawaban kepada bapak ibunya: "Pak, Bu, dulu, dahkan sampai sekarang ibu selalu memanggil aku anaknya Mbok Yem. Kalau aku kawin dengan Ru, panggilan itu menjadi kenyataan." Jawab Bagus dengan mantap.
"Lagi pula Mbok Yem dan Ru itu selama ini kita anggap sebagai keluarga sendiri, bukan sebagai batur. Bukankah rasulullah menganjurkan agar kita membebaskan budak dengan mengawini mereka, baik laki-laki maupun perempuan," lanjut Bagus, dan kali ini ia menoleh kepada bapaknya yang tertegun.
"Budak rasulullah sendiri, Zaid bin Kharitsah yang hitam, dikawinkan dengan gadis cantik, Zainab, dari keluarga orang merdeka. Istri rasulullah sendiri ada yang budak, misalnya Maria Kiptiyah."
Ayahku tidak bisa membantah jawaban Bagus. Mungkin ia menyetujui argumen Bagus sebagai orang yang mengerti agama. Jawabab Bagus itu sungguh tidak ia duga. Bagus merasa, jawabannya itu bisa meluluhkan hati bapaknya. Bukankah ia sendiri anak desa yang diambil menantu bangsawan kraton?
 (Republika, 1 Oktober 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar