Jumat, 17 September 2010

Bekal
Oleh Dewi Kusumawardhani

"Ugh, sebel!" sungut Dion pagi itu.
"Kenapa sih Ibu selalu memaksa Dion bawa bekal?" tanyanya pada ibu.
"Untuk makan siangmu," sahut ibu sambil memasukkan setangkup roti ke dalam plastik.

"Tapi Dion kan sudah besar Bu…" protesnya. Ibu hanya diam.
"Dion malu Bu! Masa sudah besar masih bawa bekal ke sekolah?" gerutunya lagi.
"Cuma roti sayang. Lagipula jajan di luar tidak sehat. Kamu kan jadi menghemat uang saku," tutur ibu sabar.

Dulu, Dion selalu bawa bekal ke sekolah dan dia tidak keberatan. Tapi sekarang? Dion sudah SMA! Pertama kali masuk sekolah membawa bekal, teman-temannya menertawakan bahkan mengatainya anak mama. Malu. Jelas sangat malu. Teman-temannya yang perempuan saja tidak membawa bekal. Dion tahu ibunya bukan pelit. Tetapi hanya memperhatikan kebersihan dan kesehatannya. Daripada malu, Dion memilih membuang bekalnya.

***

"Aduh… lapar sekali. Dari semalam belum makan," rintih seorang anak kecil yang berumur sekitar tujuh tahun. Dia berjalan dari tempat sampah satu ke tempat sampah lain.

"Ini lumayan, meski sedikit kotor," katanya lagi sambil memungut dua buah pisang sedikit busuk dari bak sampah rumah bercat putih. Dia berjalan lagi menuju tempat sampah berikutnya, sambil mencari-cari sesuatu untuk dimakan.

"Wah… roti ini masih bersih," katanya sambil membuka plastik yang membungkus roti itu.

"Hmm… enak. Sangat enak," katanya lagi setelah menggigit roti itu.
"Kenapa dibuang ya?" tanyanya heran.
"Ah, ini mungkin berkah buatku," katanya sambil memakan roti itu sampai habis dan bahkan ia hampir melupakan pisangnya.

***

Genap 10 hari Dion membuang bekalnya di tempat sampah depan rumahnya. Dalam hati, sebenarnya dia merasa sayang dan berdosa. Apalagi bila mengingat perhatian ibunya yang harus bangun pagi untuk membuatkan bekal. Dan, pagi itu dia membuang lagi roti yang dibuatkan ibunya. Tanpa buang waktu, ia berlari keluar gang. Namun, entah kenapa Dion berhenti berlari dan kembali ke tempat sampah di mana rotinya terbuang. Dion memungutnya.

"Kasihan ibu selama ini. Aku menyia-nyiakan kasih sayang dan pemberiannya," dia berbisik dalam hati sambil membersihkan plastik rotinya. Kemudian berjalan kembali keluar gang meninggalkan tempat sampah itu. Di depan gang, Dion menunggu angkot yang menuju sekolahnya.

"Ah, aku lupa membawa kalkulator. Padahal nanti ada pelajaran matematika," katanya sambil bergegas kembali menuju rumahnya.

"Duh, kenapa bisa lupa," sungutnya. Dion berjalan cepat karena tidak ingin terlambat. Langkahnya terhenti ketika sampai di depan rumahnya. Dia melihat seorang anak kecil sedang mengorek tempat sampah di depan rumahnya.

"Sedang apa anak itu?" pikirnya.
"Heh, sedang apa kamu?! Mau berantakin sampah ya?!" bentak Dion pada anak itu. Anak yang dibentaknya terkejut dan serta merta berbalik menghadap ke arahnya. Dion melotot kesal. Ia tahu anak kecil itu ketakutan melihatnya.

"Maaf Kak… saya hanya mencari roti yang biasanya dibuang di sini," kata si anak terbata-bata. Dion tertegun mendengarnya, kemudian ia membuka tas lantas mengeluarkan bungkusan bekalnya.

"Ini yang kamu cari?" tanya Dion. Anak kecil itu mengangguk.
"Nih, ambil," kata Dion sambil mengulurkan bekalnya ke anak itu. Anak kecil itu mengambilnya dengan ragu-ragu.

"Terima kasih," katanya pada Dion.
Dion mengangguk lalu berjalan menuju pagar rumahnya.
"Kak… tunggu!" teriak anak kecil itu. Dion menoleh padanya dari balik pagar.
"Kenapa kakak selalu membuang roti yang sangat enak ini?" tanya anak kecil itu padanya. Dion hanya tersenyum kemudian masuk ke dalam rumahnya.

***

Sejak saat itu, pagi adalah saat yang paling dinantikan Dion. "Ini Dion, dua roti untukmu," kata ibu padanya.

"Terima kasih Bu," sahutnya. Setelah Dion mencium tangan ibunya, dia segera berangkat sekolah. Ibunya tersenyum. Dion juga tersenyum. Rasa berdosa pada ibunya sirna karena selama ini rotinya tidak terbuang sia-sia. Dan seperti biasa seorang anak kecil menunggu di depan rumahnya. Anak kecil itu menantikan setangkup roti di padi hari yang katanya adalah berkah untuknya.***

Dewi Kusumawardhani
Penulis adalah mahasiswi Ubaya
(Jawa Pos, 7 Juni 2005)

1 komentar: