Jumat, 17 September 2010

Epilog
Oleh Anjani


“PAK, ada yang mengetuk pintu. Coba lihat siapa yang datang”.
“Ah, mana? Tidak ada. Aku tidak mendengar apa-apa”.
“Bapak memang pikun. Tuh dengar. Dia mengetuk lagi. Pasti Met pulang dari kota. Cepat bukakan pintu, pak. Nanti bisa menggigil”.
“Met?”
“Iya”.
“Pulang dari kota?”
“Iya”.
“Hari ini?”
“Iya. Cepat pak. Nanti dia masuk angin.”
Petir menyambar keras sekali. Bapak tergopoh-gopoh mencari tongkatnya. Lalu keluar membukakan pintu buat Met. Sebentar kemudian masuk lagi.
“Bagaimana, pak? Sudah masuk dia?”
“Sudah. Sedang membereskan kamarnya yang bocor”.
“Pak, dengar. Pintu diketuk lagi. Itu pasti Nas, Mis dan Ti, pulang dari sekolah. Cepat bukakan pintu, pak. Mereka pasti sudah tidak sabar mau masuk.”
Petir menggelegar lagi, mendorong bapak keluar membukakan pintu. Sebentar sudah kembali.
“Sudah disuruh makan?”
“Sudah. Tapi mereka mau meniriskan dulu seragam, sepatu, tas dan buku-buku di atas tungku.”
“Sam sudah pulang?”
“Belum”.
“Ayo jemput dia, pak. Pakai caping yang lebar itu”.
Bapak keluar kemudian masuk lagi.
“Sudah pak?”
“Sudah. Aku suruh mandi sekalian pakai air hangat”.
Bapak naik ke tempat tidur. Tapi harus turun lagi karena teriakan ibu.
“Dad dan Wa, pak!”
“Masih tidur”.
“Coba ditengok. Jangan-jangan kamarnya bocor”.
Petir menyambar lebih keras lagi.
“Pak, dengar! Mereka terbangun dan menangis. Ayo, pak. Nanti Wa jatuh dari tempat tidur. Dad belum bisa menggendongnya”.
“Gantian kamu lah bu”.
“Itu kan anak bapak.”
“Anak ibu juga.”
“Kalau begitu kita tengok sama-sama.”
Kedua orang tua itu keluar saling menuntun. Tak lama kemudian mereka masuk dan naik ke tempat tidur lagi.
“Pak, hujan-hujan begini mereka pasti kedinginan.”
“Dan juga lapar.”
***
Di ruang tengah mereka duduk menyaksikan anak-anak makan singkong rebus itu dengan lahap. Kadang-kadang Mis dan Ti atau Sam, Dad dan Wa bertengkar setelah salah seorang merebut singkong dari piring yang lain. Sam menangis, sebab bagiannya jadi sedikit. Ibu membentak dan menyuruhnya diam. Tangis Sam bertambah keras. Piring dan singkong yang masih ada dilempar ke lantai. Bapak membujuknya agar diam. Singkong-singkong itu diambil, dibersihkan, lalu ditaruh lagi di piring, ditambah bagian ibu dan bapak. Yang lain jadi iri. Sam diolok-olok oleh saudara-saudaranya, dikatakan serakah. Sam menangis lagi. Ibu bertambah marah. Tiba-tiba kilat menyambar terang sekali disusul petir seolah merobohkan rumah mereka. Anak-anak itu berebutan memeluk ibu dan bapak.
Hujan reda. Ibu dan bapak masih duduk di ruang itu.
“Anak-anak ke mana sekarang, pak?”
“Met kuliah di kota. Nas, Mis dan Ti sekolah. Sam bermain bersama teman-temannya. Dad dan Wa sedang tidur.”
“Ayo kita bereskan piring-piring ini. Biar besok bisa mereka gunakan lagi buat sarapan.”
Kedua orang tua itu mengambil piring-piring yang masih penuh berisi singkong rebus. Mereka mencucinya ke kali.
Malamnya mereka masuk kamar.
“Pak, apa pintu sudah dikunci?”
“Belum.”
“Anak-anak sudah pulang semua?”
“Sepertinya belum.”
“Coba bapak periksa di kamar-kamar.”
Bapak keluar. Lalu masuk lagi.
“Apa mereka sudah tidur?”
“Belum”.
“Masih bermain-main?”
“Nas, Mis dan Ti masih nonton tivi di rumah Pak Lurah.”
“Jangan tidur dulu, pak, sebelum mereka semua pulang.”
Sepi merambat melewati  malam. Ibu tersentak dan bangkit dari tempat tidur.
“Pak! Pak! Dengar! Ayam jantan sudah berkokok.”
“Baru kokok yang pertama”.
“Tapi pekerjaan kita banyak. Nanti kesiangan sampai di pasar. Aku harus mempersiapkan dagangan serta memasak untuk sarapan anak-anak. Juga memanaskan air buat mandi Dad dan Wa.”
“Bu, mereka sudah besar-besar sekarang. Kita tidak perlu repot lagi mempersiapkan semuanya. Anak-anak sudah mampu  mengurus diri  mereka sendiri. Lebih baik kita tidur saja. Istirahat.  Biar besok pagi kita bisa menyambut kedatangan mereka dengan badan sehat dan segar. Sehingga kita dapat menggendong cucu-cucu yang lucu.”
“Mereka mau datang besok, pak?”
“Iya”.
“Dengan cucu-cucu?”
“Iya”.
“Lucu, ya?”
“Sudah. Ayo kita tidur saja”.
“Tapi aku tidak ngantuk, pak. Aku mau menunggu mereka di sini. Aku ingin pagi segera menjelang. Agar bisa melihat cucu-cucuku yang lucu. Aku mau menggendong mereka. Bapak harus buatkan mainan. Ayunan di pohon kopi. Mobil-mobilan dari kulit jeruk. Papan panjang untuk bermain jungkat-jungkit. Egrang dan papan dakon. Halaman juga mesti dibersihkan. Agar mereka bisa main dakon, benthik, gacon, petak umpet, gobag sodor, jamuran dan pasar-pasaran. Jangan lupa memetik kelapa muda yang banyak”.
“Iya. Tapi sekarang kita harus tidur”.
“Tidak, pak. Kita mesti tetap jaga. Kita kerjakan sekarang. Semua mesti sudah siap sebelum mereka datang. Ayo, pak”.
“Tapi aku lelah, bu. Perlu istirahat”.
Ibu diam. Dari kejauhan kokok ayam jantan terdengar lagi.
“Pak! Bapak dengar itu?”
“Apa?” Aku tidak mendengar apa-apa”.
“Coba perhatikan dengan seksama”.
“Aku tetap tidak mendengar”.
“Bapak memang pikun. Tuh lagi. Ada suara decit sandal dari luar menuju dapur. Jangan-jangan maling. Ayo kita lihat, pak!”
Lelaki tua itu terpaksa bangkit mengikuti istrinya. Mereka mengendap-endap ke dapur. Di sana mereka tidak menemukan apa-apa.
“Tuh, kan, aku bilang apa? Itu hanya perasaan ibu saja”.
“Tapi suara itu jelas sekali. Nah! Sekarang ada di ruang tengah.”
“Kita tidak usah ke sana. Nanti menghilang lagi”.
“Lalu?”
“Kita intip saja dari sini”.
Keduanya mengintip lewat lubang kunci. Tampak dari belakang seorang lelaki mengenakan sarung kotak-kotak dan kemeja putih.
“Lihat, pak! Dia menuju kamar kita”.
“Ya, benar”.
“Ayo, pak, kita ikuti”.
Mereka berjingkat-jingkat ke pintu kamar. Dari sebuah celah mereka mengintip ke dalam. Lelaki itu membuka lemari dan mengambil sajadah lalu menggelarnya di atas tempat tidur. Kini tampak jelas wajah lelaki itu.
“Lihat, pak! Bukankah itu kamu?”
“Biarkan dia sembahyang. Kita tunggu di sini sampai selesai”.
Mereka duduk di ruang tengah.
“Pak!”
“Apa lagi, bu?”
“Aku dengar lagi suara-suara di dapur”.
“Kucing barangkali”.
“Bukan, pak. Coba dengar baik-baik. Seperti ada yang sedang menampi. Dan itu pasti suara air mendidih. Dengar, pak. Ada kayu bakar yang dijatuhkan dari atas para. Nah, suara beras dicuci. Eit, tutup panci itu terjatuh. Dengar lagi, pak, tak tuk pisau yang memotong sayuran di atas talenan. Nah, benar! Nyaring suara bumbu dimasukkan ke dalam minyak panas. Aduh, pak. Aku yakin itu bak buk bunyi tempe-tempe yang dimasukkan ke dalam karung. Jelas sekali, kan pak?”
“Aku tidak mendengar apa-apa, bu”.
“Bapak memang pikun. Ayo kita lihat”.
“Jangan. Nanti hilang lagi”.
“Kita intip saja ya, pak?”
Mereka mengintip dari ruang tengah. Seorang perempuan sedang menyiapkan barang-barang dagangannya. Sesekali tampak dia beranjak ke tungku untuk menyorongkan kayu bakar dan menengok nasi dalam panci.
“Itu kan aku, pak?”
“Biarkan dia bekerja. Kita tunggu di sini sampai selesai”.
Mereka duduk kembali di ruang tengah.
“Sampai kapan kita menunggu, pak? Waktu seperti tidak pernah berjalan. Matahari tidak kunjung terbit”.
“Sebentar lagi, bu, kalau saatnya sudah tiba”.
“Aku ingin melihat cucu-cucu”.
“Sudahlah. Bukan waktunya lagi kita gelisah dan memperturutkan keinginan. Semuanya pasti akan terjadi sebagaimana mestinya. Kita tinggal menjalani saja. Kalau terlalu bernafsu waktu bisa semakin menyiksa kita.”
“Tapi aku tidak bisa diam begini. Aku harus melakukan sesuatu”.
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Tidak tahu”.
“Memang sudah saatnya kita tidak perlu melakukan apa-apa”.
Kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Sunyi pecah oleh hingar-bingar pagi. Azan Subuh berkumandang dari langgar ke langgar. Klakson dibunyikan. Deru kendaraan dan teriakan orang-orang ke pasar. Kedua orang tua itu masih di situ. Duduk diam. Menunggu waktu demi waktu yang membawa mereka pada kesejatian. q - o
Yogyakarta, 2004

(Sumber: /www.kr.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar