Jumat, 17 September 2010

Bendera Merah

Hampir tak ada yang tersisa. Satu demi satu, barang-barang milik Pak Wiryo terjual. Kesulitan ekonomi yang dialami Pak Wiryo, membuatnya harus menjual harta benda yang dimilikinya demi menyambung hidup. Siapa yang peduli? Hampir tak ada seorang pun yang mau mengerti kesulitannya. Lagi pula, Pak Wiryo tak pernah meminta belas kasihan dari orang lain. Sebisa mungkin ia harus mendapatkan uang untuk makan isteri dan dirinya dengan peluhnya sendiri. Apapun pernah ia lakukan. Menjadi kuli panggul pasar, tukang batu, dan kerja serabutan yang lain. Kerasnya hidup telah menempa jiwa lelaki berumur 56 tahun itu, untuk tidak mudah menyerah pada nasib. Tangannya yang kasar, kulitnya yang hitam, mengisyaratkan bahwa dia adalah seorang pekerja kasar, yang mencoba mengais sisa-sisa rezeki di antara terik matahari yang membakar. Mengayuh hari-hari dengan peluh melawan bengisnya waktu yang terus berlari menggilas kehidupan.
Hari tampak begitu cerah. Langit bersih, tanpa awan menggelayut. Mentari bersinar dengan ramah. Di sebuah rumah kecil sederhana, dengan tembok yang catnya hampir mengelupas, keluar seorang lelaki berperawakan sedang. Dialah Pak Wiryo. Seorang tukang becak yang setiap hari menyusuri hiruk-pikuk kota. Mencoba bertahan hidup dengan melawan matahari yang membakar. Ia menuju ke samping rumah. Di sana becak yang setiap hari diharapkan dapat menopang hidupnya, telah menunggu. Dengan selembar kain kumal, ia mengelap becak itu. Tak lama kemudian, isterinya keluar dengan membawa secangkir teh hangat untuk suaminya.
”Tehnya Pak, diminum dulu,” katanya.
”Iya Bu, sebentar lagi,” jawab Pak Wiryo sambil masih mengelap becaknya.
Setelah selesai mengelap becak, Pak Wiryo mengambil minuman yang diberikan isterinya tadi. Ia duduk di samping becaknya sambil memandang lepas ke atas. Tampaknya sesuatu sedang dipikirkannya.
”Duh Gusti, aku ndak tahu apakah hari ini Engkau akan memberikanku rezeki atau tidak. Aku ndak tahu, apakah hari ini ada makan siang untukku atau tidak. Tapi aku akan tetap mengayuh becak itu. Kalau saja Engkau mau berbaik hati, tolong Gusti, berikanlah aku rezeki hari ini meski hanya sekadar untuk makan siang bersama isteriku,” katanya pelan.
Sesekali Pak Wiryo menghirup napas panjang. Entah apa lagi yang masih mengganjal di hatinya. Ia masih saja menerawang dengan tatapan kosong. Iringan awan putih tampak berjajar di hamparan biru itu. Tampak juga burung-burung kecil beterbangan sambil bercanda riang. Mereka juga akan mencari makan hari ini, seperti halnya Pak Wiryo.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Saatnya bagi Pak Wiryo untuk mengayuh becaknya. Menyusuri jalanan hitam yang memanas demi segelintir nasi yang bisa mengganjal perutnya, juga isterinya. Detik demi detik terus berganti. Pak Wiryo melewatinya dengan tidur di dalam becaknya yang mangkal di depan sebuah pasar. Ia tertidur dengan pulasnya. Hiruk-pikuk pasar dan lalu lalang orang-orang sudah membuatnya suntuk dan terasa lelah. Apalagi ditambah dengan sengatan matahari yang tak kenal ampun. Tiba-tiba saja sebuah tepukan tangan membangunkannya.
”Pak, tolong antarkan saya ke Joyosuran,” kata wanita setengah baya itu.
”Nggih, Bu,” jawab Pak Wiryo sambil menaikkan barang-barang penumpang itu.
Kemudian, tibalah saatnya ia mengayuh becak penopang hidupnya. Menyusuri setiap lorong jalan kota yang kejam itu. Setelah hampir setengah jam mengayuh beban berat, sampailah ia ke tempat yang dituju.
”Kiri, Pak. Berapa?” tanya wanita itu setelah turun dari becak.
”Lima ribu saja, Bu,” jawab Pak Wiryo.
Kemudian, bergegaslah Pak Wiryo meluncur kembali ke pangkalannya. Menanti rezeki yang siapa tahu akan datang lagi padanya.
Matahari semakin meredup. Pendaran sinar panasnya perlahan tak lagi terasa. Tampak awan yang beriring mulai kemerah-merahan. Senja mulai tiba. Menjemput malam yang sebentar lagi keluar. Menutup sesaat lembar-lembar cerita kehidupan hari ini, sebelum pagi kembali datang memulainya. Kemudian, beranjaklah Pak Wiryo untuk pulang. Setelah seharian bertaruh peluh demi beberapa lembar uang seribuan. Kini, tibalah saatnya untuk melepas penat. Sejenak meluruskan kembali otot-otot punggung karena masih ada hari esok yang menanti untuk dikayuh.
****
Hari masih begitu dingin. Sedingin embun yang masih memeluk erat dedaunan. Masih enggan lalu, karena mentari belum mengusik. Burung-burung baru saja terbangun dari lelapnya. Kicauan mereka tampak seperti irama sendu. Berbeda dari hari-hari yang lalu. Ini kali, tak ada celoteh riang menyambut sinar hangat yang akan memulainya kembali lembar-lembar cerita kehidupan hari ini. Di ujung gang menuju rumah Pak Wiryo, tampak terpasang selembar bendera kecil berwarna merah. Sedikit banyak orang-orang berkumpul di rumah Pak Wiryo, para tetangga, dan segerombolan tukang becak macam Pak Wiryo. Hanya saja, isteri Pak Wiryo tak tampak di antaranya. Tak banyak suara berarti di antara kerumunan orang itu. Mereka terlihat sibuk menyiapkan perabotan untuk suatu ritual. Terlihat ada lembaran kain putih, bermacam bunga, seperti halnya ritual orang meninggal. Tapi siapa?
****
Malam hampir lalu. Namun derik suara jangkrik yang masih nyaring terdengar. Kerlip kecil bintang yang bertebar di atap hitam nan luas itu masih juga terjaga. Detak jam terdengar seirama dengan detak jantung dalam jiwa-jiwa yang masih terlelap. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah empat lebih sedikit. Di sebuah tempat tidur sederhana, tampak Pak Wiryo terjaga di samping isterinya. Ia tak juga bisa kembali memejamkan mata. Perasaannya begitu gundah. Tiba-tiba...
”Tok..tok..tok...,” terdengar pintu diketuk.
”Siapa yang ketuk pintu malam-malam gini?” kata Pak Wiryo sambil beranjak dari tempat tidurnya. Ia penasaran ingin membuka pintu.
”Maaf, Pak... saya mau minta tolong. Bapak bisa nganter barang-barang dagangan saya ke pasar?” kata Bu Jinah, tetangganya.
”Iya, Bu. Tapi apa ndak kepagian?”
”Ndak, Pak. Ini kan hari pasaran.”
Pak Wiryo pun segera pamit pada isterinya. Ia merasa senang, karena rezeki sudah datang sepagi ini. Segera saja ia mengayuh becaknya ke tempat Bu Jinah untuk mengangkut barang-barangnya.
Dalam perjalanan, Pak Wiryo tak henti-hentinya mengucap syukur. Ia berterima kasih sekali pada Tuhan karena mendapat pembagian rezeki lebih awal. Tapi tiba-tiba.... duarrrrrrr! becak Pak Wiryo terpental keras. Begitu juga dengan Pak Wiryo. Ia terpelanting dan tak sadarkan diri. Sebuah bus malam menyambar Pak Wiryo dan becaknya. Pak Wiryo tergeletak di jalan raya tak berdaya. Darah mengucur deras dari kepalanya. Tampak juga becaknya yang ringsek dan tak berbentuk lagi. Orang-orang pun berdatangan ingin tahu yang terjadi. Kemudian, mereka segera menolong Pak Wiryo. Tapi sayang, Pak Wiryo sudah tak bisa diselamatkan. Ia sudah meninggal. Meninggalkan semua. Tetes keringatnya sudah berakhir. Selembar bendera merah mengisyaratkan berakhirnya semua tentang Pak Wiryo. Tinggal semangat dan harapan yang kini masih tersisa. Terpatri pada sudut-sudut kota, pada aspal jalanan yang menghitam, pada debu-debu trotoar, Pak Wiryo akan dikenangnya.
(Sumber: Solopos 1 Juni 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar