Jumat, 17 September 2010

Dongeng untuk Anjeli
Oleh Willy Hangguman


Telepon di atas meja kerja Nadia berdering. "Mami, jangan lupa dongengnya?" terdengar suara mungil se- orang anak perempuan.

"Tentu, Anjeli. Mami mempunyai dongeng yang istimewa," Nadia berjanji kepada putri sulungnya, Anjeli. Hari itu Anjeli genap enam tahun dan dia minta kado didongengi.

"Dongeng tentang apa, Mami?"

"Pondik."

"Apa itu?"

"Dongeng dari Manggarai, Flores, dari kampung Opa Yulman."

"Pondik itu, siapa?"

"Seorang laki-laki Manggarai yang dianggap bodoh, namun sebenarnya cerdas."

"Cepat pulang, ya, Mami! Anjeli sudah tak sabar ingin dengar ceritanya."

Hati Nadia pengap oleh rasa bahagia. Anjeli ternyata rindu pada dongengnya. Selama ini dia selalu merasa cemburu pada pesawat televisi yang ada di ruang keluarga. Anjeli suka cuek pada dirinya saat duduk di depan pesawat televisi. Malah dia lebih mentaati acara televisi daripada perintah orangtuanya. Televisi telah menjadi idolanya yang dengan sabar mendongeng untuknya. Televisi tak pernah mengeluh capek saat mendongeng. Tidak seperti ibunya yang suka mengeluh capek pulang kerja. Begitu juga bapaknya. Nadia merasa diejek televisi karena berhasil merebut Anjeli.

Nadia makin terkejut karena anaknya makin dikuasai oleh televisi. Ceritanya, suatu hari, seusai pulang taman kanak-kanak Anjeli menunjukkan gambar-gambar yang dibuatnya di sekolah dengan penuh semangat kepadanya.

"Mami, lihat ini," katanya sambil menunjukkan tiga lembar kertas gambar yang sangat ramai dengan pesta warna. Nadia memperhatikan gambar-gambar itu.

"Oi, anak mama ternyata sudah pandai menggambar," Nadia memuji.

"Bagus nggak, Ma?"

"Bagus sekali," dia memuji lalu menarik anak perempuan itu, memeluknya erat-erat, mencium kedua pipinya.

Setelah anaknya pergi bermain, Nadia memperhatikan kembali gambar-gambar yang dibuat oleh anaknya. Dia tersentak, televisi telah berhasil mengajarinya dengan gambar-gambar dari negeri asing, dari negeri televisi, dari negeri maya. Ada Doraemon, Satria Baja Hitam, Hercules dan Xena. Dia tidak menggambar ayam, bebek, kucing, dan burung. Dia tidak melukis Gatotkaca dan Anoman. Rasa cemburu dan geram mengguncang-guncangkan hati Nadia karena televisi telah berhasil merebut anaknya. Ingin dia mencampakkan pesawat televisi dari rumahnya. Namun itu tidak mungkin. Orang kota seperti dirinya membutuhkan televisi, sama seperti membutuhkan nasi dan sayur. Televisi telah menjadi bagian dari hidupnya, identitas dirinya.

Televisi telah berhasil menggusur dirinya dalam merebut hati Anjeli. Televisi memang penuh pesona. Dia menyadari televisi selalu lebih sabar dan ramah kepada Anjeli dibandingkan dengan dirinya. Televisi tak pernah marah, bila Anjeli tidak mengganti seragamnya setelah pulang sekolah. Dengan tangan terbuka dia mengatakan, "Datanglah kepadaku, dengarlah dongeng-dongengku sepuas-puasnya, Anjeli. Saya tidak peduli engkau belum mandi. Kalau engkau mendengarku sampai lupa makan, sampai lupa belajar, sampai lupa pekerjaan rumah yang ditugaskan Guru Omar Bakrii, sampai lupa ibu dan bapakmu juga, saya tidak marah. Saya siap menjadi orangtuamu.

"Ibumu, ayahmu telah membawa saya tinggal di rumah ini dan mendapat ruang penting dalam rumah, ruang keluarga. Saya merasa sangat terhormat, bisa menjadi bagian penting dari keluargamu. Saya hanya bisa berterima kasih dengan menawarkan mimpi-mimpi kepadamu. Nontonlah sekuat-kuatnya dan sepuas-puasnya. Dengarlah sekuat-kuatnya. Saya tidak mengenal lelah. Saya juga siap dibangunkan kapan saja untuk mendongeng. Kamu terlalu baik pada saya, Anjeli." Nadia sakit hati mendengar televisi mengejeknya.

Nadia pernah mencoba merebut anaknya dari pelukan televisi dengan dongeng Malin Kundangii, suatu kisah anak durhaka. Malin Kundang yang sudah sukses, tidak mau mengakui ibu kandungnya di depan istrinya yang cantik karena ibunya hanyalah seorang perempuan desa biasa. Anjeli tertarik. Nadia merasa bahagia.

"Anjeli sayang sama Mama, nggak?" tanya Nadia setelah mengakhiri dongennya.

"Sayang. Anjeli nggak mau jadi anak durhaka, Ma," jawab Anjeli. Matanya berkaca-kaca. Dulu, Malin Kundang juga membuat air mata Nadia berlinang karena terharu ketika ibunya mendongenginya. Bila ada paman atau bibinya yang datang ke rumahnya, Nadia selalu merengek minta didongengi. Bahagia rasanya bila omanya datang. Omanya pandai mendongeng. Dongengnya macam-macam. Nadia biasanya minta untuk tidur bersama omanya agar bisa menikmati dongeng yang lezat.

Sekarang, dia ingin mewariskan pengalaman masa kecilnya untuk putrinya sendiri, Anjeli. Dia tahu dongeng itu banyak manfaatnya bagi Anjeli. Dongeng menyiapkan ruang imajinasi untuk petualangan anaknya. Di ruang imajinasi itulah anaknya bisa bermain, mengembangkan pikirannya.

Televisi telah menyandera anak-anak kota besar, termasuk Anjeli, untuk tidak mau bermain, kecuali duduk takluk di depannya. Nadia sempat menolak rencana suaminya untuk membeli home theater yang mampu memanjakan mata dan telinga dengan gambar-gambar dan bunyi yang terasa live, di mana penontonnya merasa ikut terlibat dalam peristiwa yang sedang ditayangkan di layar televisi. Dia menyadari, kenikmatan menonton akan membuat Anjeli makin betah mendengar dongeng dari televisi dan malas bermain. Kelak dia juga akan malas membaca. Televisi akan menjadi idola Anjeli. Nadia merasa sangat khawatir.

"Televisi tidak boleh menguasai anakku. Aku akan merebut dari pelukannya," geram hati Nadia. Dia mencemaskan anaknya menjadi manusia square eyes, menjadi manusia malang seperti Chips Gordon yang diperankan Jim Carrey dalam film The Cable Guy.

Nadia menyadari tidak mudah menjadi orangtua di zaman televisi. Pada masa kecilnya di Ruteng, tak ada televisi. Jangankan pesawatnya, kata televisi belum sampai ke sana. Ketika ayah Nadia membeli sebuah radio, rasanya bahagia luar biasa. Benda berbentuk seperti kotak itu mampu menangkap suara dari RRI Jakarta dan RRI Makassar, bahkan suara dari benua lain seperti BBC London, Hilversum Belanda, Deutche Welle Jerman, dan Radio Australia dari Melbourne, Australia. Benda itu membuat Nadia terkagum-kagum pada radio.

Pernah dia berpikir, mereka yang berbicara dan menyanyi di radio tentu tinggal di dalam kotak kecil itu. Dia berusaha keras mengintip mereka. Ketika ayahnya membuka bagian belakang radio untuk mengganti batu baterei, barulah dia yakin tak ada yang menghuni kotak tersebut. Namun dia tetap tidak mengerti bagaimana kotak itu bisa menangkap pembicaraan orang di belahan dunia lain, menangkap suara merdu Titik Sandora dan Muchsin Alatas di akhir tahun 60-an, dan musik ngak-ngik-ngok The Beatles dari Liverpool sana. Pada masa itu tak banyak keluarga di kota kecil itu memiliki radio. Keluarga Nadia termasuk beruntung.

Gedung bioskop juga belum ada di sana waktu itu. Namun sesekali penduduknya bisa juga menikmati film. Pater Klisan, seorang pastor misionaris dari Eropa, sering menghibur penduduk kota itu dengan film. Dialah satu-satunya yang memiliki proyektor di kota itu, mungkin juga di kabupaten itu sampai awal tahun 70-an. Bila ingin memutar film, biasanya dipakai sebuah gedung yang sehari-harinya digunakan sebagai gedung sekolah dasar. Sejak zaman Belanda dan Jepang gedung itu memang sudah dipakai untuk sekolah. Bangunan itu pernah pula dimanfaatkan sebagai gedung kesenian, tempat main drama. Kota kecil itu sempat memiliki kelompok teater. Belakangan kegiatannya terbengkalai. Namun panggungnya masih bagus. Rumah Nadia tidak jauh dari situ.

Biasanya, bila ada pemutaran film, Nadia dan teman-temannya telah menyelinap ke gedung sebelum acara pemutaran film dilaksanakan. Bersembunyi di bawah kolong panggung teater. Begitu malam tiba, mereka keluar dari sarang persembunyian, bergabung dengan penonton lain yang masuk ke sana dengan membayar karcis masuk. Layarnya dari kain putih biasa yang dibentangkan begitu saja. Kesannya darurat. Namun itu sudah lebih dari cukup untuk penonton di kota kecil tersebut waktu itu.

Masuk ke sana bukan masuk ke "gua yang gelap" gedung bioskop modern seperti sekarang. Lampu listrik dari motor disel menyala terang benderang ketika penonton masuk ruang bioskop darurat itu. Listrik untuk masyrakat belum menyala di sana waktu itu. Orang menggunakan lampu gas atau teplok untuk penerangan.

Di gedung bioskop darurat itu, tidak ada nomor kursi. Siapa cepat, dia mendapat tempat duduk. Orang selalu berebut duduk di depan, dekat layar. Pater Klisan biasanya berada di tengah penonton, kira-kira tiga meter jaraknya dari layar. Bila film siap diputar, maka akan terdengar suaranya menggelegar: "Lampu!" Seseorang yang ditugasi mematikan lampu segera melaksanakan tugasnya. Dan, proyektor pun berputar.

Terkadang, saat asyik menonton, tiba-tiba film putus. "Lampu," teriak Pater Klisan. Penonton tak marah bila film tiba-tiba putus. Mereka menikmatinya sebagai bagian dari tontonan. Mereka menunggu dengan sabar sampai film bisa diputar kembali. Semuanya berjalan dengan begitu menyenangkan. Film yang diputar biasanya tentang cowboy atau kisah orang-orang kudus seperti riwayat hidup Maria Goretti yang rela mati demi mempertahankan keperawanannya. Kadang diputar pula film tentang Perang Dunia II.

Masa kanak-kanak yang indah itu sudah berlalu. Kini Nadia tinggal di kota metropolitan dengan tantangan hidup yang lain pula. Dia melihat jarum jam dinding. Pukul empat sore. Dia buru-buru mengemas diri. Sore itu dia harus membawa oleh-oleh dongeng untuk anaknya. Hatinya sudah sampai di rumah saat duduk di belakang setir mobil. Lalu mobilnya bergerak meninggalkan tempat parkir yang lapang dan asri di kampus tempat dia mengajar. Lalu lintas sedang merayap. Dia tahu Anjeli sudah tidak sabar untuk mendengar dongeng Pondik. Dia sendiri juga sudah tidak sabar untuk mendongeng.

Nadia memutar radio kesayangannya untuk menghibur diri di tengah kemacetan lalu lintas. Saat itu Jakarta sedang dilanda demonstrasi mahasiswa. Beberapa ruas jalan di pusat kota ditutup dan mobil-mobil yang sedang merayap pulang harus mencari jalan masing-masing. Dan, kini Nadia ikut merasakan dampaknya. Dia baru tiba di rumah pukul sembilan malam. Di ruang keluarga, dia mendapatkan Anjeli telah bertekuk lutut di depan layar televisi. Meskipun Anjeli telah tertidur, televisi masih terus mendongeng dengan penuh sabar. Kotak ajaib itu sedang menayangkan kerusuhan di suatu tempat. Dengan penuh bangga televisi itu menunjukkan Anjeli gambar-gambar orang mengacung-acungkan golok, parang, dan tombak, siap membunuh sesamanya. Sementara itu, Mbak Sum, pembantu rumah tangga mereka yang bertugas mengasuh Anjeli, menikmati kekerasan di televisi itu sambil menikmati kacang rebus.

Pesawat televisi itu tersenyum bangga ketika mengetahui Nadia muncul. Nadia membalas dengan senyum kecut. Dia melabrak Mbak Sum karena membiarkan anaknya menyaksikan kekerasan dan tragedi itu. Nadia menyadari anaknya tidak mudah mencerna berita itu, sebab Anjeli bukan miniatur dari orang dewasa dalam memandang dunia. Dia langsung merampas anaknya dari pelukan televisi. Anjeli terbangun. Saat membuka matanya, Anjeli mendapatkan ibunya telah pulang.

"Mami, mana dongengnya," Anjeli merengek. Permintaan itu menyejukkan hati Nadia. Dia merasa lega karena anaknya masih menagih janji dongengnya. Lalu dia memeluk anak itu dengan dongengnya. ***

Catatan kaki:

i "Guru Omar Bakri" adalah salah satu judul lagu Iwan Fals.
ii "Malin Kundang" cerita anak durhaka dari Sumatra Barat.


(Suara Pembaharuan, 1 Juli 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar