Jumat, 17 September 2010

Banjir

"Hujan, teruslah turun! Jangan berhenti! Ya, teruslah turun!" Markonah berteriak-teriak kegirangan di atap rumahnya, di pinggir Kali Ciliwung yang mulai meluap. Bajunya kuyup, rambutnya acak-acakan. Wajahnya menatap langit yang terus menumpahkan hujan.
Air Ciliwung keruh, kecoklatan, menghanyutkan sampah, bangkai, dan segala macam benda busuk yang sudah tak terpakai. "Ya, teruslah turun, wahai hujan! Jangan berhenti! Tenggelamkan semuanya! Ha..ha..ha haa!"
Markonah begitu gembira, tidak peduli lebatnya hujan, tidak peduli bencana alam, tidak peduli omongan orang. Mau disebut gila, tidak waras, atau stress, dia masa bodoh. "Markonah, ingat bayimu! Jangan menuruti kemauanmu sendiri!" kata ibunya, mengajaknya mengungsi. Saat itu air yang menggenangi rumahnya baru mencapai sebatas lutut. Tapi Markonah bersikeras tetap berada di rumah itu."Emak dan bapak silakan mengungsi, Markonah akan tetap di sini!"
"Rumah ini sebentar lagi tenggelam, Markonah. Sungai Ciliwung akan meluap. Banjir kiriman dari Bogor tidak lama lagi datang." "Justru itulah yang aku tunggu, Emak! Aku ingin rumah ini tenggelam, aku ingin hanyut dibawa arus sungai, aku ingin mati menjadi korban banjir. Aku ingin semua koran, radio, dan televisi menyiarkan kematianku!"
"Haah?!" ibunya terkejut. "Kamu sudah gila, Markonah!" "Aku tidak gila, Emak. Ini bukan kemauanku, melainkan keinginan jabang bayi di dalam perutku. Biar semuanya sadar bahwa banjir ini bukan semata kehendak Tuhan. Banjir ini adalah banjir kutukan, terjadi akibat ulah manusia yang rakus memperkosa alam!"
Tentu saja ayah ibunya tidak bisa menerima alasan Markonah. Segera mereka meringkus Markonah. Markonah memberontak. Tapi tenaga ayahnya lebih kuat. Markonah digelandang untuk diajak mengungsi bersama warga lainnya ke tempat yang lebih tinggi. Berduyun-duyun warga di bantaran Kali Ciliwung pergi ke atas sambil membawa barang-barang yang pantas diselamatkan. Mereka berkumpul di kantor kelurahan. Ada juga yang berteduh di gedung sekolah dan masjid. Mereka berharap hujan segera berhenti. Tapi, hujan terus mengguyur dengan lebatnya disertai petir dan badai. Air Ciliwung kian meluap. Malam-malam, tatkala warga sibuk mengurusi keluarga dan barang-barangnya, Markonah diam-diam meninggalkan ayah ibunya. Ia kembali ke rumahnya di tepi Ciliwung. Markonah menceburkan dirinya ke genangan air. Udara beku membuatnya menggigil kedinginan. Air kini mencapai sebatas dada. Hujan terus mengguyur. Markonah berenang menuju rumahnya.
Ketika Markonah mencapai rumahnya itu, air yang meluap telah mencapai atap. Beberapa rumah tetangganya, yang terbuat dari kayu dan seng, hanyut disapu air. Ciliwung mengamuk, menunjukkan kemarahannya. Markonah merangkak ke atas genting. Beberapa kayu yang telah keropos, patah diinjaknya. Markonah terus naik. Di atap rumahnya, Markonah menatap langit hitam yang terus menumpahkan hujan. Markonah tertawa-tawa senang. Lalu berteriak, "Hujan, teruslah turun! Teruslah turun! Jangan berhenti! Ya, teruslah turun!"
Markonah seperti orang kesetanan. Ia berjingkrak-jingkrak kegirangan di atap rumahnya. "Ya, teruslah turun, wahai hujan! Jangan berhenti! Tenggelamkan semuanya! Hanyutkan rumahku, hanyutkan diriku, hanyutkan gedung-gedung bertingkat itu! Ha..ha..ha!" "Nah, sekarang terjunlah, Ibu. Kita akan bertemu ayah!" tiba-tiba Markonah mendengar suara bayi dari dalam perutnya.
"Ya ya, aku akan terjun. Tunggu sebentar lagi. Biar Ciliwung mencapai puncak kemarahannya. Kemarahan sungai adalah kemarahan alam. Kemarahan alam adalah kekesalan Tuhan, karena manusia terlalu serakah. Hutan-hutan habis dijarah." "Ya, sekarang terjunlah, Ibu. Arus sungai sudah kencang. Kita akan bertemu dengan ayah!" ujar bayinya lagi.
Markonah tertawa dan terus tertawa sambil berteriak menatap langit, mengharap hujan turun lebih lebat lagi. "Ya teruslah turun, wahai hujan! Jangan berhenti! Jangan berhenti! Tenggelamkan semuanya! Hanyutkan rumahku, hanyutkan diriku, hanyutkan gedung-gedung bertingkat itu. Ha..ha..haa...!"
Teriakan dan tawa Markonah berlomba dengan gemuruh hujan. Dan, ketika orang-orang sibuk mencari Markonah sambil menyorotkan lampu senternya ke segala arah, ibunya menjerit melihat Markonah berada di puncak atap rumahnya. Semua mata tertuju pada Markonah. Hujan bertambah lebat. Orang-orang berteriak menyuruh Markonah turun. Tapi Markonah malah meledek dan tertawa-tawa kegirangan.
"Markonah, turunlah!" teriak ayahnya. "Ingat bayimu, Nak!" ratap ibunya.
"Jangan bertindak bodoh, Markonah!" kata tetangganya. Tapi Markonah tak peduli. Dia terus menari-nari, menyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa. Nyanyian dan tawanya berpacu dengan deru hujan dan gemuruh badai.
Dan, ketika seseorang secara diam-diam berenang menuju ke arahnya untuk menyelamatkannya, Markonah terkejut. Dia sama sekali tak menduga ada orang yang bertindak nekat ingin menyelamatkannya. Padahal, Markonah sama sekali tak ingin diselamatkan. Dia ingin mati menjadi korban banjir. Dia ingin kematiannya disiarkan oleh berbagai media agar semua orang tahu bahwa banjir ini bukan semata kehendak Tuhan atau sekedar siklus alam. Dia ingin semua orang tahu, banjir ini adalah banjir kutukan, terjadi akibat ulah manusia yang rakus memperkosa alam.
Ketika orang itu hampir mencapai atap rumahnya, tanpa sengaja kaki Markonah menginjak atap genting yang keropos. Kakinya terpeleset. Tubuh Markonah limbung, dan langsung tercebur ke arus Sungai Ciliwung yang mengalir deras. "Markonah...!!" teriak ibunya, lantas pingsan.
Tubuh Markonah timbul tenggelam terbawa arus sungai, sebentar tersangkut pada akar-akar pohon, hanyut lagi. Tersangkut di gorong-gorong, hanyut lagi. Mampir sebentar di kanal, lalu hanyut lagi.
Orang-orang pun sibuk mencari mayat Markonah. Tidak hanya Tim SAR yang turun tangan, tapi juga para sukarelawan dari berbagai kampus dan LSM. Peristiwa tragis itu benar-benar disiarkan berbagai radio, televisi, dan koran. Semua orang mendengar dan membaca berita kematian Markonah. Mayatnya tak berhasil ditemukan.
Ketika hujan mulai reda, ketika matahari kembali bersinar ceria, ketika orang-orang kota kembali sibuk bekerja, dan ketika orang-orang mulai melupakan berita tentang kematian Markonah, nampaklah seorang lelaki setengah baya asyik memancing ikan di muara Kali Ciliwung sambil menghisap rokok kreteknya. Tiba-tiba tali pancingnya terasa memberat. Sepertinya ada seekor ikan raksasa yang menyantap umpan kailnya. Hatinya berdebar-debar. Segera ditariknya tali pancingnya itu secara perlahan.
Lelaki itu amat terkejut, kailnya ternyata mencantol sebuah kutang, dan kutang itu dikenakan oleh sesosok tubuh yang telah menjadi mayat. Dan, ketika mayat itu menyembul kepermukaan, lelaki itu kaget karena amat mengenali wajahnya. "Astagaaa... Markonah??" desis lelaki itu. Matanya membelalak sejadi-jadinya. Lelaki itu melepaskan tali pancingnya. Ia mundur beberapa langkah. Kepalanya berkunang-kunang. Lalu, tiba-tiba ia berteriak-teriak ketakutan. Tubuhnya terhuyung-huyung. Kakinya tersandung. Lelaki itu limbung sesaat dan jatuh pingsan! Sebentar kemudian tempat itu ramai dirubung ribuan orang.
(Sumber: Republika, 30 Maret 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar