Jumat, 17 September 2010

Hujan
Oleh Wawan Kurniawan

KEDUA anak laki-laki pengojek payung yang mengharapkan datangnya hujan deras itu saling tatap dengan wajah riang. Mereka kemudian berlarian di antara hujan dengan kaki-kaki kecilnya yang lincah.
"Jangan sampai ke terminal. Bahaya kalau ketemu Bang Ratno," teriak Yanwar kepada Kahfi sebelum keduanya berlainan arah.
Kahfi mengangguk tanda mengerti. Anak itu juga takut sesuatu hal yang tidak diinginkannya terjadi. Ia menatap langit yang menghitam seusai mengenyahkan bayangan yang menakutkannya itu. Kilatan petir datang seakan tiada ada habisnya menerangi ruas-ruas jalan. Sementara gemuruhnya menggentarkan jantung siapa saja yang mendengarnya.
Hujan sore itu deras sekali. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Mereka menggunakan emperan gedung, depan etalase toko, halte, atau tempat telefon umum untuk berteduh. Kahfi memicingkan matanya agar bisa melihat lebih jelas. Hujan yang deras, mata yang minus. Semestinya ia menggunakan kacamata minus. Namun anak yang masih berseragam putih biru itu mana cukup punya uang untuk membeli kacamata.
"Dik, payungnya, Dik!"
Seseorang mengejutkannya. Kahfi tersadar dari lamunannya oleh sebuah suara dan tangan yang basah yang menyentuh pundaknya dari belakang. Seorang ibu dengan tentengan koper yang berat baru saja turun dari angkot. Dengan pakaian yang sudah setengah basah ibu itu menggunakan payung Kahfi sampai terminal.
Dengan wajah tegang, Kahfi masuk kawasan terminal. Kahfi menguntitnya sampai si ibu naik ke dalam bis dan mengeluarkan seribuan. Kahfi menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.
Kahfi lantas meninggalkan terminal dengan langkah tergesa. Ia tidak mau bertemu Bang Ratno, preman yang suka ngerjai anak-anak kecil itu. Namun baru beberapa langkah menuju gerbang, seseorang telah mencegatnya dari depan.
Kahfi terkejut. Laki-laki itu tersenyum mesem kepadanya. Tetesan air tampak membasahinya, jaket belel, dan jeans robek-robek yang dikenakan laki-laki itu. Pundak Kahfi dicengkeramnya kuat-kuat sementara di perutnya terasa sentuhan ujung pisau yang dipegang tangan lain laki-laki itu.
"Ikut Abang atau lu mampus," katanya mengancam.
Tanpa melakukan perlawanan apapun, Kahfi yang dipenuhi ketakutan digiring Bang Ratno ke sebuah gang buntu.
**
YANWAR mencari Kahfi ke mana-mana. Tapi tidak ketemu. Hujan sudah reda meninggalkan jalanan yang becek dan berlumpur. Dengan baju yang masih basah, Yanwar duduk di tempat biasanya, di pinggir jalan, sambil menghitung penghasilannya. Tiba-tiba perhatiannya terbelah saat seorang anak berjalan terpincang-pincang mendekatinya. Pakaiannya juga basah. "Kamu kenapa Fi?" tanya Yanwar. "Payung kamu mana? Terus... kaki kamu kenapa."
Jawabannya adalah suara kecipak air dari sandal jepit Kahfi. Yanwar tak sabar, terus mendesak.
Kahfi berhenti. Perlahan ia tegakkan wajahnya dan menatap pandangan penuh keingintahuan kawannya.
"Bang Ratno," katanya pendek.
Yanwar kaget. Nama itu sudah menjelaskan segalanya.
"Kamu?"
Kahfi mengangguk. Lantas pergi meninggalkan Yanwar yang terdiam sendiri.
**
SISA hari itu mengubah Kahfi menjadi anak pendiam. Dan tak bisa tidur. Dia duduk di sudut kamarnya yang sempit. Dilihatnya dua adiknya sudah terlelap, nyenyak dalam buaian mimpi. Kahfi masih membayangkan kejadian sore...
Bang Ratno menarik leher kaosnya serupa induk kucing menggigit punduk anaknya dengan mulutnya. Lalu dengan pisau yang terus mengancam ia gebrakkan Kahfi ke tembok dengan keras. Kahfi mengeluh kesakitan.
"Ampun, Bang," jeritnya sambil menangis. Namun suara derasnya hujan menenggelamkan jeritannya.
Bang Ratno malah tertawa. Ia laksana serigala yang baru saja menangkap domba: mempermainkannya sebentar sebelum menyantapnya. Bang Ratno menyentuh pipi Kahfi. Bagi Kahfi, sentuhan itu seperti bara. Desahan nafas yang penuh nafsu mulai mendekati mulut kecil Kahfi. Kahfi berontak. Dengan segala kekuatannya ia mencoba menghempaskan tubuh Bang Ratno yang jauh lebih besar.
Namun usahanya itu sia-sia. Kahfilah yang malah terjatuh. Tentu saja, tenaga bocah 10 tahun tak bisa mengalahkan tubuh kekar dan berotot Bang Ratno. Sebaliknya, tawa Bang Ratno tambah berderai. Itu membuat Kahfi seperti bisa melihat tumbuhnya dua tanduk iblis yang merah di kepala Bang Ratno.
Kahfi terus berontak. Jantungnya berdegup lebih keras, bercampur dengan ketakutan yang terus memuncak. Kala laki-laki itu kembali mendekat dengan amat berhasrat, Kahfi melihat sebuah garpu bekas di antara tumpukan sampah. Antara sadar dan tidak, dalam waktu yang berjalan cepat, Kahfi mengambil garpu itu dan, dengan mata tertutup, menusukkannya sembarangan ke wajah Bang Ratno.
"Aaaa...."
Bang Ratno berteriak kesakitan. Pisaunya terlepas. Saat Kahfi membuka matanya, tahulah ia bahwa garpu itu menancap tepat mengenai mata kiri Bang Ratno.
"Anjing, gue bunuh lu! Gue bunuh lu bangsat!" katanya. Tapi anak yang diincarnya kini tak lagi di depannya.
Tapi belum lolos. Saat Kahfi hendak berlari, tangan Bang Ratno menariknya dengan keras. Sekali lagi Kahfi dibenturkan ke tembok. Kahfi berteriak, takut dan panik. Tarikan dan benturan kali ini membuat kaki kanannya keseleo.
Dengan kalap, Bang Karno menyerang. Yang terbersit dalam pikiran Kahfi adalah bagaimana caranya menyelamatkan diri. Kini pisau Bang Ratnolah yang menolongnya. Kahfi mengambil pisau yang tergeletak tak jauh darinya itu. Dengan pisau itu ia menusuk Bang Ratno tepat di jantungnya.
Waktu seperti berjalan sangat lambat saat Bang Ratno terjatuh di hadapannya. Kahfi terhenyak dengan nafas tersengal.
Kilat dan gelegar petir terus bersahutan. Hujan masih menggila. Kahfi menangis.
Malam itu, Kahfi tak bisa tidur. Ia gelisah. Dari sela-sela gorden, di antara pekatnya malam, Kahfi melihat bayangan wajah yang mengerikan. Wajah yang penuh darah. Dari mulutnya tersungging senyum yang dipenuhi dendam.
Kahfi cepat-cepat memejamkan matanya. Ia takut bayangan itu menghantuinya. Namun sesungguhnya ia takut kalau akan berakhir di penjara. Anak itu sudah semestinya tinggal menunggu tibanya esok. Dan dia tahu apa yang akan terjadi setelah menemui esok.
(Sumber: Pikiran Rakyat, 3 September 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar