Sabtu, 18 September 2010

Cerita Bohong di Siang Bolong
Oleh Noer Mursidi


Kampung Polandak gempar. Persis selepas Dhuhur, seorang pemuda dikabarkan terbenam sebatas leher di kuburan ibunya, selang ia meletakkan jenazah wanita itu di peristirahatan terakhirnya. Setelah jenazah wanita yang meninggal saat shalat itu tergolek di lubang kubur, si anak membuka tali pengebat kain kafan, dan tiba-tiba tanah di sisi kuburan longsor menimbunnya.


Laksana angin, kabar itu cepat tersebar luas ke pelosok kampung. Warga terperangah. Semua orang heboh. Di setiap penjuru kampung, di pangkalan ojek, di mushala dan juga warung-warung rokok serta terminal, cerita ganjil itu jadi bahan gunjingan.

"Itu azab Allah yang sudah sepantasnya diterima oleh seorang anak durhaka. Bagaimana tidak? Lantaran si ibu tak menuruti permintaannya untuk dibelikan motor, kok ia menjadi gelap mata dan tega membunuh ibunya sendiri yang sedang shalat," ceracau Mak Turi, janda pemilik warung rokok di kampung Sumber Girang, sekitar 10 km dari kampung Polandak.

"Lho, Mak Turi tahu dari mana?" tanya Mak Sri, yang kebetulan sedang membeli gula pasir dan obat nyamuk bakar di warung Mak Turi.

"Tadi ada tukang ojek yang bercerita saat membeli rokok di sini," jawabnya dengan sombong karena dia merasa selalu mendapat kabar lebih dulu dibanding orang-orang lain di kampungnya. "Apa Mak Sri tidak ingin datang ke Polandak untuk melihat?"

"Apa cerita itu benar? Apa Mak Turi percaya?" tanya Mak Sri ragu. "Semua orang sudah tahu tentang cerita ini! Maka, cepet, Mak! Saya aja mau tutup karena mau pergi ke sana untuk melihat wajah pemuda durhaka itu!"

Tergopoh-gopoh Mak Sri segera beranjak pergi dari warung Mak Turi. Ia sudah tak sabar ingin mengajak kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar supaya bisa melihat kejadian yang ganjil tersebut. Apalagi, Mak Sri selama ini hanya melihat keganjilan seperti itu di tivi.

Usai berdandan seadanya, tak perlu membasuh muka dan hanya menyampirkan selendang yang lusuh di pundak, Mak Sri langsung menggeret kedua tangan anaknya, Slamet dan Bejo. "Siang ini, emak akan mengajak kalian berdua pergi ke Polandak! Akan emak tunjukkan pada kalian bagaimana pemuda yang durhaka pada ibunya itu diadzab oleh Allah."

"Tapi Slamet mau main layang-layang, Mak," bantah Slamet, anak pertama Mak Sri yang sudah duduk di kelas empat SD.

Dengan gesit, Slamet pun menarik tangannya dari genggaman tangan Mak Sri untuk melepaskan diri. Tetapi, genggaman tangan emaknya cukup kuat untuk dilerai. Slamet tak bisa berkutik.

"Untuk siang ini, tak ada main layangan. Tetapi, emak berjanji nanti akan membelikan kalian layang-layang dan benang baru dari toko," bujuk Mak Sri pada kedua anaknya.

Slamat dan Bejo langsung girang. "Saya mau ikut, asal mak tak bohong!" kata Slamet dan Bejo nyaris serentak.

"Tapi, nanti sepulang dari sana!"
Muka Slamet dan Bejo pun merona riang. Maka kedua bocah kecil itu diam dan menurut ketika Mak Sri menggeret kedua tangannya keluar rumah. Tergesa-gesa, Mak Sri mengunci pintu rumah, lantas menggapit kedua tangan anaknya dan melangkahkan kaki ke perempatan jalan.

Matahari terasa panas, menyengat kulit juga membakar ubun-ubun. Keringat Mak Sri menetes dari dahi menggelincir ke pilipis dan terjatuh ke leher. Mak Sri menjadikan selendangnya sebagai penutup kepala yang ia perlebar untuk melindungi kedua anaknya dari terik mentari.

Tergopoh-gopoh Mak Sri berjalan. Sesampai di perempatan jalan, dia menarik napas panjang. Napas Mak Sri serasa kembang kempis, naik turun. Terik mentari membuat tenggorakannya kering kerontang. Dia menyeka kening anaknya dengan selendang. Sementara, tatapan kedua bocah kecil itu menerawang jauh ke arah jalan raya.

Tak kunjung ada angkutan umum yang melintas di jalan. Mak Sri jadi gelisah. Menunggu di bawah terik matahari apalagi ia membawa kedua anaknya yang masih kecil di tepi jalan, memang tak ubahnya seperti siksaan. Bukan apa-apa, agar kedua anaknya itu tak berlarian.

Saat mematung, menunggu angkutan lewat, Slamet tiba-tiba mengagetkan emaknya, "Memang, ada kejadian apa di kampung Polandak, Mak?"

Gelagapan, Mak Sri membalikkan muka. Lalu, dia pandangi Slamet. "Nanti kamu tahu sendiri! Makanya, jika disuruh emakmu itu jangan suka membantah. Tadi aja, kamu disuruh mak membeli obat nyamuk dan gula pasir tak mau. Jika kamu sudah besar, besok mau jadi apa? Apa mau terkubur sebatas leher di makam emakmu seperti yang akan kamu lihat nanti?"

Slamet diam. Mak Sri kembali menanti angkutan yang melintas dari arah terminal. Dan, ketika samar-samar tampak angkutan umum, hati Mak Sri sedikit lega. Dia lambaikan tangan, menghentikan angkutan umum yang hendak melintas. Tapi, angkutan umum itu terus melaju, karena penuh. Di pintu angkutan, beberapa penumpang bahkan sudah bergelayutan.

Kembali, Mak Sri melihat angkutan. Hatinya lega. Tapi lagi-lagi, saat angkutan itu sudah dekat dengan tempat Mak Sri berdiri, dia tak dapat berkutik setelah tahu angkutan itu sudah penuh sesak oleh penumpang. Mak Sri kembali menatap ke tanah mengutuk keramaian penumpang yang di siang itu tidak seperti biasanya.

Lama berdiri di jalan, kesabaran Mak Sri mulai hilang. Untung, di saat kesabaran Mak Sri mau hilang, terlihat sebuah angkutan umum yang melaju. Persis di depan Mak Sri angkutan itu berhenti. Mak Sri dan kedua anaknya bergegas naik.

Sesampai di pemakaman umum Polandak, Mak Sri terpana melihat kerumunan orang. Mak Sri berjalan memasuki tanah pemakaman, menggandeng tangan kedua anaknya dan membayangkan kejadian aneh di tivi tentang orang mati yang kuburnya tiba-tiba dipenuhi air, padahal saat itu tak lagi turun hujan. Juga kejadian ganjil lain seperti jenazah yang dapat memanjang tiba-tiba ketika dimasukkan ke liang kubur.

Kini, Mak Sri sudah ada di pemakaman. Dalam benaknya, sebentar lagi ia akan menyaksikan sendiri kejadian aneh seperti yang biasa dia tonton di tivi. Mak Sri hanya berharap satu hal, semoga kedua anaknya sadar, tidak lagi nakal dan tak lagi membantah jika disuruh untuk membeli sesuatu.

Mak Sri terus melangkah di bawah terik mentari, dengan menggandeng Slamet dan Bejo. Tapi belum sempat kakinya melangkah jauh memasuki makam, Mak Sri berpapasan dengan Mak Turi, "Mak di sini ternyata tidak ada kejadian aneh apa pun! Entah siapa yang mengarang cerita bohong ini. Kurang ajar!"

Kaki Mak Sri lemas. Lututnya serasa gemetar, dan terik mentari membuat kepalanya tiba-tiba menjadi pening. Ia tak menyangka, jika kabar yang dia dengar dari Mak Turi itu ternyata cerita bohong di siang bolong.

Malam itu, di warung kopi terminal, Mudrik tertawa girang. Sampai jakun lelaki bertato yang bekerja sebagai sopir angkot itu terlihat membengkak setelah dia tertawa terpingkal-pingkal bersama sopir dan kernet-kernet yang lain. "Yu, tambah kopi!" ucap Mudrik, seraya mengambil pisang goreng, tidak jauh dari tempat duduknya.

Yu Jilah, janda pemilik warung kopi itu, pun segera memenuhi perintah Mudrik. Yu Jilah tahu, malam ini Mudrik tebal kantong dan pasti akan melunasi utang-utangnya. Mudrik tertawa tiada henti. Ia baru diam ketika pisang goreng yang masih panas itu menyumbat mulut besarnya. Kopi panas yang disodorkan Yu Jilah pun segera ia seruput dengan rakus.

"Kamu memang cerdas, Mudrik," sanjung Markom, juga sopir angkot, memujanya. "Kalau boleh tahu, dari mana kamu mendapatkan ide gila itu?" tanyanya lebih lanjut, dengan mata berjuling-juling.

"Aku berpikir, setelah BBM naik, nyaris kita tekor setoran. Kapan lagi kita akan bisa mendapat uang banyak seperti hari ini jika aku tak menghembuskan berita dan bohong itu."

"Wah, orang gila sepertimu kadang juga membawa keberuntungan. Hari ini kita semua tidak hanya panen bahkan dapat berkah karena kita narik lebih ramai dibanding hari lebaran!" ujar Markom lagi.

"Aku harus pulang dulu! Istriku sudah nunggu di rumah dan pasti akan senang kalau dia melihat penghasilanku hari ini," ucap Mudrik, sambil mengangkat kakinya yang terselip di balik kursi, kemudian melangkah ke arah angkot tua yang terbujur kaku di ujung jalan.***
(Republika, 9 September 2007) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar