Jumat, 17 September 2010

Setengah Restu 
 
Pandan menghentikan mobil di tepi persawahan yang sambung-menyambung hingga menyentuh kaki bukit yang berjajar memagari kampung-kampung kecil. Dari kejauhan tampak asap mengepul dari bakaran jerami kering sisa panen. Aromanya mengapung di udara, mengingatkan Pandan pada aroma merang bakar yang dulu digunakan Ibu untuk membersihkan rambutnya yang panjang, merapat melewati pinggul. Semasa kecil dulu, Pandan paling suka menciumi rambut Ibu sehabis keramas, membelitkannya di leher, membuatnya geli sendiri. Kemudian Ibu akan meminta ia membantu menyisir rambut dari belakang.

Tinggal beberapa menit lagi ia akan tiba di rumah masa kecilnya. Tapi Pandan ragu melanjutkan perjalanan. Ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi Ibu. Apa reaksi Ibu jika ia tetap pada keputusannya? Mungkinkah hati Ibu melunak, mengeras, dan mereka bertengkar lagi? Firman, kakaknya, hanya mengatakan, sebaiknya Lebaran ini ia pulang. Kelihatannya Ibu rindu padamu. Berita itu menggembirakan sekaligus mengagetkannya. Ia mengira, tak akan lagi punya kesempatan menghirup aroma jerami bakar, dari sawah yang habis dipanen.

Dari tempatnya berdiri Pandan menyaksikan senja turun menjadi malam. Listrik di rumah-rumah penduduk sudah menyala. Barisan bukit kini tampak seperti jejeran patung raksasa. Dadanya serasa sesak ketika terdengar azan magrib dari masjid yang berdiri di tepi jalan, tak jauh dari tempatnya berdiri. Suara itu mengaduk-aduk perasaannya, membuatnya jadi sentimental. Diraihnya botol air mineral dari mobil dan diteguknya untuk berbuka. Ia seka mata segera ketika merasakan ada genangan air di sana.

Pandan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang.

Di balik kemudi ia mencoba membayangkan wajah Rusmini, ibunya, perempuan berwajah bulat dengan sorot mata tegas. Ia senang mengenakan kebaya, yang membuatnya tampil anggun dan berwibawa. Ibu pernah dua kali jadi kepada desa yang dipilih langsung oleh rakyat dengan kemenangan mutlak. Saat itu belum ada ketentuan seorang lurah hanya boleh memangku jabatan dua periode. Ia tercatat sebagai lurah perempuan pertama dan terlama di kabupaten.

Rusmini adalah lurah yang dicintai rakyat karena menjalankan amanah dengan benar. Bersama petani ia membangun koperasi unit desa (KUD) hingga petani bisa mengelola sawah dan palawija dan menjual hasilnya dengan harga lumayan. Irigasi untuk mengairi sawah dibangun secara gotong-royong. Gerakan menanam pohon mangga di tepi jalan berlangsung sukses. Hingga kini kampung itu terkenal sebagai penghasil mangga dan manisan mangga. Kedua putranya, Firman dan Pandan, juga berhasil menyelesaikan sarjana di perguruan tinggi negeri terpandang, di kota provinsi.

Sungguh menggegerkan ketika setahun lalu, Rusmini, yang masih dipanggil Ibu Lurah oleh masyarakat sekitar, meminta putri bungsunya, pergi dari rumah untuk selamanya. Berita itu menyebar diam-diam dan menjadi pembicaraan penduduk di sawah, ladang, dan di pasar.

Awalnya mereka mengira, Pandan diusir karena hamil di luar nikah dengan pacarnya. Berita itu ternyata tidak benar. Pandan tidak hamil. Ia memang pacaran dengan Helmi, sarjana administrasi negara cicit dari pensiunan TNI. Yang benar adalah Rusmini mengusir Pandan karena ia memaksa menikah dengan Helmi, padahal Rusmini tidak setuju. Para orang tua yang mengetahui perjalanan hidup Rusmini, memaklumi tindakan itu. Tapi bagi generasi muda pengusiran itu mengurangi rasa hormat dan kagumnya pada Rusmini.

Ibu pernah mengatakan pada Pandan jika ia menyukai Helmi secara pribadi meski ia benci pada keluarganya dan kalau mungkin tak mau berbesanan dengan mereka. Namun Pandan mengira Ibu tidak serius mengatakannya. Sebab setahu Pandan, Ibu yang dikenalnya sangatlah terbuka dan pemaaf. Apalagi peristiwa itu sudah lama terjadi.

Ibu adalah cucu Ki Reksa. Eyang buyut Pandan itu adalah anggota kelompok gerilya yang di awal kemerdekaan ingin mendirikan negara selain Republik Indonesia. Gerakan gerombolan terlarang yang bergerak antara lain di Aceh dan Jawa Barat itu ditumpas habis oleh tentara. Pemimpinnya tertangkap di sebuah gunung dan dihukum mati.

''Kakek buyut si Helmi itu adalah komandan penumpas gerombolan, yang membunuh kakek buyutmu,'' tegas Ibu.

Pandan limbung mendengarnya.

Setelah peristiwa itu Ibu merasakan kehidupan yang sulit. Anak-anak dilarang orang tuanya berteman dengannya, yang waktu itu berusia SD, karena takut dicap mendukung ideologi tersebut. Bahkan gara-gara itu kakek dan nenek alias orang tua Ibu bercerai. Keluarga kakek tak mau disangkut-sangkutkan dengan kelompok yang dianggap pengacau.

''Beruntung nenek perempuan tangguh yang tak menyerah pada keadaan. Dengan segala keterbatasan ia berjuang, menghidupi Ibu agar bisa sekolah dan bisa seperti sekarang,'' tutur Ibu.

Ingatan orang tentang gerombolan itu memang tidak mendalam, karena masanya pendek dan cepat ditumpas. Selanjutnya Ibu pun bisa menjalani kehidupan seperti biasa dan masuk sekolah bahkan menjadi lurah tanpa perlu membawa surat keterangan bersih diri. Jadi, Pandan berpendapat, Ibu tak seharusnya menyimpan dendam sedalam dan selama itu.

Pandan pernah bertanya, ''Ibu yakin kakek buyut Helmi yang menembak?''

''Yang pasti dia memerintahkan untuk menumpas, membunuh...''

''Yang ditumpas tak hanya eyang buyut. Lagi pula dia hanya menjalankan tugas.''

''Buyutmu juga menjalankan ideologinya.''

Sampai di situ Pandan diam. Jujur saja ia sulit merasakan dendam seperti yang dirasakan oleh Ibu. Peristiwa itu terjadi jauh sebelum ia lahir, di awal kemerdekaan. Ia tak merasakan perjuangan merebut kemerdekaan yang diikuti pertikaian ideologi dan seterusnya. Ia lahir di masa Orde Baru dan berusia 13 tahun ketika Orde Baru tumbang. Masa dewasanya dilalui di alam yang sudah lebih demokratis dengan me­milih presiden secara langsung.

''Saya tahu Ibu tak bisa melupakan peristiwa itu. Tapi tolong beri tahu saya bagaimana membuat Ibu mengerti jika saya dan Helmi saling mencintai dan ingin menikah dan meminta restumu.''

''Bagaimana aku mengizinkan putriku menikah dengan seorang lelaki yang leluhurnya membunuh eyang buyutmu!''

''Bu, jangan ulangi kata-kata itu terus-menerus...''

''Tidak. Ibu tidak memberimu restu menikah dengan Helmi. Banyak lelaki lain selain Helmi.''

''Banyak lelaki selain Ayah, mengapa Ibu memilih Ayah...''

Nafas Ibu tampak tersengal-sengal, menahan amarah.

''Saya akan tetap menikah dengan Helmi,'' lanjut Pandan yang tak kalah emosi. ''Dengan atau tanpa restu Ibu. Ibu egois, pendendam, dan ternyata sangat tidak demokratis...''

Ibu mengangkat kepala dan telunjuk tangan kirinya seraya berkata, ''Apa pun pendapatmu tentang Ibu, hanya ada dua pilihan, tinggalkan Helmi dan tetap jadi anakku atau menikah dengan Helmi dan pergi dari rumah ini.''

Pandan semakin tersinggung dan marah dengan sikap Ibu yang dianggapnya semena-mena, menghancurkan kebahagiaannya, menyepelekan perasaannya. Ia pun melangkah meninggalkan Ibu, berniat mencari angin, meredakan emosinya di halaman rumah.

''Setelah keluar dari pintu itu, kularang kau memasukinya kembali...'' Ibu yang tengah dilanda emosi membuat kata-katanya menjadi tidak terkendali.

Mendengar itu, Pandan menghentikan langkah, menoleh ke arah Ibu yang sedang berdiri meremas-remas jarinya. Keduanya bertatapan. Ibu kemudian melunakkan pandangannya. Melonggarkan ketegangan di wajahnya. Ia melambaikan tangan, meminta Pandan mendekat. Tapi Pandan memilih untuk keluar tanpa menutup pintu. Jika saat itu ayahnya masih hidup, tentu ia akan membela, mengejar, dan mencegahnya pergi. Ia meninggal di tanah suci saat pergi bersama Ibu.

Di luar rumah Pandan mendengar Ibu memperbaiki ucapannya, ''Rumah ini masih terbuka jika kau berubah pikiran...''

Emosi telanjur menguasai Pandan. Tanpa membawa apa-apa Pandan pergi dari rumah dan tak pernah pulang. Sebetulnya sejak kuliah ia tinggal di kota lain dan hanya pulang di saat liburan. Saat itu pun ia sudah bekerja di kota tempatnya kuliah.

Tapi rumah adalah rumah di mana kenangan masa kecil berserakan yang membuatnya kerap ingin pulang. Semasa kuliah dulu, tiap libur ia pulang agar bisa menikmati aroma masakan dari dapur yang sangat khas dan kipasan angin siang yang berasal dari gesekan daun nangka yang kerap membuatnya tertidur di kursi rotan panjang, di teras depan. Lebih dari yang lain Pandan rindu pada Ibu, yang tinggal di rumah hanya ditemani Bi Siti. Kakaknya, Firman dan keluarga, tinggal di lain kota.

Kini Pandan sudah menghentikan mobil di depan rumah. Gelap sudah merata. Ia melihat kursi rotan panjang masih ada di teras depan. Cat rumah masih sama seperti setahun yang lalu. Pot-pot tanaman gelombang cinta yang menjulang tinggi masih berada di tempatnya. Pohon nangka ramping itu seperti biasa berbuah banyak dan besar-besar.

Ia berdiri terpaku ketika hendak membuka pintu. Ibu sudah lebih dulu membukanya dari dalam. Pandan mencium tangan Ibu. Ibu memeluk dan mengusap-usap rambutnya.

''Bi Siti membuat kolak pisang dan kolang-kaling dengan gula aren kegemaranmu,'' Ibu membimbingnya ke meja makan.

''Apa kabar, Ibu?'' Pandan meneliti wajah Ibu sambil menyuap kolak dengan sendok.

''Kabar baik. Ibu senang akhirnya kau pulang...''

Pandan ingin mengatakan bahwa kepulangannya sama sekali tak ada kaitannya dengan mematuhi keinginan Ibu untuk tidak menikah dengan Helmi. Tanpa mengurangi rasa hormatnya pada Ibu, Pandan merencanakan akan menikah tanpa restu Ibu sekalipun. Ia akan meminta Firman jadi wali, menikahkannya, usai Lebaran. Tapi ia coba menahan diri untuk tidak mengatakannya.

''Ibu tahu kau masih berhubungan dengan Helmi.''

Dalam hati Pandan berharap Ibu tak membicarakan itu dulu hingga ia selesai buka puasa, selesai menikmati rumah dengan segala kenangannya. Tapi rupanya Ibu sudah tidak sabar.

''Ibu tahu kalian tak terpisahkan. Kalian ingin menikah. Ibu merasa berdosa jika memisahkanmu karena cerita masa lalu yang kalian tidak tahu, yang sulit kalian mengerti.''

Pandan masih diam. Ia mencoba menebak-nebak ke mana arah pembicaraan Ibu.

''Ibu senang kalau kalian bisa menikah di malam Lebaran.''

Pandan mengerutkan dahi mendengar permintaan Ibu.

''Minta keluarga Helmi datang meminangmu, segera.'' Sambil mengatakan itu Ibu melemparkan pandangannya ke lantai. Ia berupaya menyembunyikan perasaannya.

''Apakah tidak tergesa-gesa?'' Pandan bertanya hati-hati. Ia merasa Ibu memutuskan itu dengan terpaksa.

''Terserah kalian, mau menikah cepat atau tidak.''

''Baik, Ibu, saya akan telepon Helmi mengabari rencana ini.''

''Beri tahu Ibu pembicaraanmu dengan Helmi agar Ibu bisa bersiap-siap.''

''Ibu, ada apa? Semuanya begitu tiba-tiba...'' Pandan tak tahan untuk tidak bertanya.

''Ibu menyayangimu, Nak...''

''Saya tidak pernah meragukan itu.''

''Ibu tak ingin menunda-nunda kebahagiaanmu.''

''Saya bahagia karena akhirnya Ibu memberi saya restu menikah dengan Helmi.''

''Tapi Ibu tak akan menggelar pesta perkawinan untukmu.''

''Restu Ibu sudah cukup buat saya.''

Ibu menggeleng-gelengkan kepala. ''Bukan karena Ibu tak memiliki uang.''

Pandan tak ingin menyela.

''Ibu belum bisa menghilangkan sakit hati itu.''

Pandan mencoba mengerti.

''Ibu berjanji akan membuat pesta pernikahan saat hati ini sudah bersih dari rasa dendam...''

Pandan tidak ingin mendebat kejujuran Ibu tentang perasaannya yang terbelah, cintanya pada anak dan bencinya pada keluarga calon menantunya. Ia yakin Ibu tengah berupaya keras menghapus kenangan pahit itu dengan memberinya setengah restu. Pandan berdoa, semoga malam Lebaran nanti memberi Ibu keajaiban, dendamnya mengelupas, tak berbekas. ***

*) Ida Ahdiah, pengarang yang lama tinggal di Kanada

(sumber www.jawapos.co.id) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar